Halaman

Selasa, 12 Februari 2013

26 Cagar Budaya Masuk Nominasi Warisan Dunia

26 Cagar Budaya Masuk Nominasi Warisan Dunia

Sebanyak 26 cagar budaya di Indonesia, masuk dalam daftar nominasi warisan dunia UNESCO.

Dari 26 cagar budaya tersebut, tiga diantaranya adalah Candi Muara Jambi di Jambi, Candi Trowulan di Jawa Timur, dan kawasan karst Maros Pangkep di Sulawesi Selatan.

Demikian dituturkan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Surya Helmi, Selasa (12/2/2013).

Saat ini, sebanyak 13 cagar budaya Indonesia telah ditetapkan sebagai warisan dunia, di mana enam diantaranya termasuk dalam warisan dunia kategori tak benda, empat cagar budaya sebagai warisan dunia kategori benda, dan tiga lainnya adalah warisan dunia kategori alam.

Yang baru saja ditetapkan sebagai warisan dunia pada akhir tahun 2012 adalah noken, rajutan khas Papua.

 sumber : http://regional.kompas.com/read/2013/02/12/08023764/26.Cagar.Budaya.Masuk.Nominasi.Warisan.Dunia

Minggu, 10 Februari 2013

puisi ilham pribadi-harian analisa

APA KABAR PAGI

Apa kabar pagi
yang hadir menghancurkan mimpi
apakah mentarimu masih tersenyum
memandang brikade burung mengitari
cakrawala
seperti hendak menyampaikan berita
tentang mimpi buruknya tadi malam
apa kabar pagi
akankah esokmu terampas
oleh mendung yang membawa hujan
mengguyur duka
pada bumi yang terluka
Medan, Juni 2003
 
DOAKU UNTUKMU
Tembang kenangan di malam itu
membuatku makin terkenang dirimu ibu
kerinduan yang terpatri dalam diriku
membuat lubang kerinduan semakin dalam
untukmu
apakah kau tenang di sana
bermain dan bercanda dengan malaikat
menyanyikan lagu pujian untuk-Nya
sementara aku menyesali diriku
yang tak sempat melepas kepergianmu ibu
hanya doa yang dapat kukirim untukmu
semoga kau tenang di sana
Medan, Juli 2004

K A U
Yang kemarin berselimut
dalam peti jenazah
ajarkan padaku
cara mati yang benar
Medan, Juni 2003

DINNER
Kau sambut aku dengan sepotong roti
dan secangkir kopi susu
sedang kemarin daging dan darahku
kau jadikan makanan penutup
Medan, Juni 2003

sumber : http://www.analisadaily.com/mobile/read/?id=11680

puisi Ilham Pribadi-Harian Analisa


Angin menyeretku pada rindu
mengiring setiap anganku yang lahir
pada jasadku yang terpaku
menatap laut yang memantulkan wajahmu
selaksa mimpi tapi nyata
pada setiap gelombang nafas
menghempaskan bahtera
terdampar pada pantai rindu
angin semakin keras menyeret anganku
ketika ku coba menelusuri pantai
mencari mutiara rindu darimu
yang kau kirim melalui bintang
Medan, Agustus 2003
AKU HANYA BERSANDIWARA

Untuk para durjana
kuajak kau bernyanyi
kuajak kau menari
bersama iblis betina
berpesta ria
aku terus menghiburmu
hingga kau lelah
hingga kau berkeringat
memang aku penjilat
karena terus menghiburmu
hingga kau lelah hingga kau berkeringat
Medan, 2003

HARAPAN

Akankah ku kais tanah
tuk temukan sebutir harapan
sementara cacing-cacing kelaparan

akankah ku peras kayu
tuk temukan sebutir air
sementara akar-akar kekeringan

apakah semua harapan telah terkubur
sementara bumi telah membatu kini
Medan, oktober 2004

TAPAK LANGIT

Jalanku menapaki langit
darah kaki membasahi awan
terus mendaki setiap gumpalannya
jatuh tersungkur, namun
aku masih bisa merangkak
dimanakah-Dia?
Medan, Oktober 2003

sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/05/15848/berlayar_di_laut_rindu/#.URcWWaB8EiE

Puisi


Puisi Tengku Marni Adriyah

Pesan di Batu Nisan 3

Bah…
Dimana aku harus sembunyikan tangis ini
Didadamu, yang tak lagi kekar
Karena angin, hujan, panas, debu
Telah mengikis habis keperkasaanmu

Sabtu, 09 Februari 2013

kumpulan cerpen


BERATUS JUDUL DI KEPALAKU
                                                                                                            Cerpen Ilham Pribadi

“Ah…, setan!”
“Sial!”
            Aku terus menggerutu. Lagi-lagi aku tidak bisa menulisnya, padahal semua seperti sudah terbaca dalam benakku. Tapi semua hilang seketika, seperti sirnanya cahaya matahari saat dengan sekelebat awan hitam menutupi tubuh bulatnya, dan dengan secepat itu juga rentetan bulir air yang jatuh menghujam tanah menghapus tarian debu-debu di jalanan.
”Yap, dapat!”
            Kembali jariku menari diatas tombol-tombol alfabet yang tidak beraturan letaknya. Lincah seperti penari Tanggo menghentakkan kaki mengikuti irama musik. Namun itu hanya sesaat ketika segumpal daging di tengkorak kepalaku kembali menemukan jalan buntu, gelap dan tak ada apa-apa disana. Aku kembali terkungkung dalam sebuah ruang berisi ribuan bahkan jutaan kata-kata yang tak pernah ku mengerti, dan jangankan untuk mengerti, untuk menyentuhnya pun aku tidak mampu.
”Sial, sial, sial!”
            Entah untuk yang keberapa kali aku mengalami kesialan seperti ini, bertubi-tubi. Kenapa semua hilang begitu saja.
            Sejenak kurebahkan tubuh pada sandaran kursi yang seingatku sudah hampir empat jam aku melakukan persetubuhan dengannya. Kureguk kopi yang tidak pernah  tersentuh sejak aku mulai duduk dan membuka laptop ku. Ya, laptop yang ku beli dari hasil tabunganku selama enam bulan aku bekerja. Laptop yang selalu ku nantikan, seperti penantian seorang raja pada putra mahkotanya yang akan menggantikan kedudukannya kelak jika ia mangkat, meskipun sang Raja belum tau pasti apakah putra mahkotanya itu akan bisa membantu bahkan menggantikan tampuk pimpinan kerajaan.
            Sama seperti aku.  Laptop yang selama ini ku harapkan ternyata tidak mampu membantu untuk menunaikan niatku menuliskan sebuah puisi. Aku sudah berniat akan menulis puisi saat aku punya laptop.
”Kenapa harus menunggu ada laptop, ditulis aja kan bisa.”
”Ini zaman modern To, zaman teknologi. Penyair yang sudah terkenal sekalipun sudah atau hampir melupakan teknologi dawat yang telah membesarkannya.” jawabku ketika Anto, teman seperjuanganku melontar tanya.
            Tapi entah kenapa. Jangankan sebuah, sebait bahkan sekalimat pun belum mampu aku tulis. Sempat timbul rasa menyesal telah membeli benda persegi sialan ini. Padahal aku masih punya mesin tik butut. Sementara uang tabunganku bisa dipergunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Maklumlah aku hanya karyawan rendahan.
            Kembali kukecup bibir gelas dan menumpahkan sedikit isinya kedalam rongga mulutku, sambil aku terus berfikir dan menyusun kata agar menjadi kalimat yang indah. Beratus judul sepertinya tidak perlu kupikirkan lagi untuk sebuah puisi. Memori otakku sudah menyimpan judul-judul itu di laci yang terpisah dari memori-memori yang lain. Seperti seorang konglomerat yang menyimpan harta (entah hasil korupsi atau tidak) di berangkas yang terkunci rapat. Judul-judul yang indah. Namun kenapa hanya judul yang ku punya, kenapa judul-judul itu tidak bisa ku kembangkan menjadi sebuah puisi, bahkan untuk sebuah kalimat yang indah pun, belum!
            Berbagai spekulasi bermunculan di benakku. Kenapa orang-orang bahkan anak kencur pun bisa menulis puisi, walaupun puisi cinta yang menurut beberapa penyair sangat tidak masuk akal namun mereka bangga bisa menulisnya dan mengungkapkannya pada sang kekasih hati. Tapi aku, belum!
            ”Ah, akan ku coba lagi”, gumamku dan mulai memperbaiki posisi duduk seperti semula. Kembali kucoba untuk menuliskan beberapa kata, namun kembali pula aku menemukan kebuntuan. Aku selalu berhenti dibeberapa kata. Meskipun aku pernah membaca beberapa puisi penyair besar yang dengan hanya sebuah kata juga sudah merupakan sebuah kalimat. Tapi mereka penyair hebat yang semua isi dalam puisinya mengandung makna yang dalam. Itulah kata guruku sewaktu aku masih menginjakkan kaki di bangku SMA. Sang Guru mengatakan itu setelah mendapat pertanyaan dari teman sebangku yang mempersoalkan kenapa ada satu kata saja yang menjadi sebuah kalimat pada puisi.
            ”Alah, persetan dengan alasan guru ku”. Gumam yang lagi dan lagi keluar dari mulut ini. Biarpun itu hanya ku anggap sebuah alasan seorang guru terhadap ketidakmampuan dalam menjawab sebuah pertanyaan, namun itu tetap sebuah puisi yang hebat menurutku. Sempat terlintas dalam relung benak ini untuk menuliskan sebuah kata menjadi sebuah kalimat puisi, namun urung ku lakukan karena aku beranggapan belum pantas seorang pemula seperti aku tuk melakukannya. Hanya orang-orang yang sudah terkenal atau terlanjur terkenal di dunia sastra yang boleh melakukannya. Seperti seorang pelukis yang membuat sebuah lukisan dengan menggunakan beberapa ekor cacing. Entah apa yang tercipta dari geliat-geliat binatang tanah itu, namun menjadi sesuatu yang sangat berharga dan mendapat apresiasi yang sangat istimewa.(Aku pernah membaca berita tentang seorang pelukis yang membuat sebuah lukisan dari beberapa ekor cacing,aku lupa nama pelukisnya).
            Kenapa aku tidak bisa seperti seorang penyair yang mengandaikan rumput bisa sembahyang dalam puisinya Sembahyang Rumputan. Puisi yang pernah aku baca pada saat aku mengikuti lomba baca puisi tingkat kecamatan saat peringatan Isra’ Mi’raj. Dengan indah dia mengukir kata-kata seolah-olah rerumputan juga seperti manusia yang melakukan sujud pada tuhan-Nya. Atau paling tidak seperti sebaris sajak Ebiet G Ade yang menyuruh kita bertanya pada rumput yang bergoyang,yang ia lantunkan menjadi sebuah lagu yang dikenang sepanjang masa.
            Hanya dengan rumput, mereka mampu menguntai ribuan huruf menjadi kata hingga menjadi mantera yang dapat menyihir para pembacanya. Seperti seorang pesulap, dengan sedikit kata yang dia ucapkan mampu menghipnotis penonton yang dipilihnya. Atau puisi Tragedi Kawin dan Kasih yang berisi kata kata yang serupa berulang-ulang. Atau seperti teks proklamasi yang dibaca Presiden Indonesia Pertama yang menjadi pemicu gelora kemerdekaan. Padahal isinya hanya beberapa kata yang ku anggap sebagai sebuah syair karena semua kalimat berakhiran ”a”. Atau...atau...,ah, aku tidak mau beratau-atau.
            Sejenak kembali ku nikmati serupan kopi yang masih tergeletak di atas meja, berharap alirannya dapat mencairkan setumpuk daging yang masih beku di kepalaku. Sembari memutar semua persendian yang agaknya sudah mulai kaku karena sudah hampir lima jam aku duduk. Sesaat memutarkan sendi leherku, sekejap itu pula seuntai senyum merekah diwajahku. Kurasakan itulah senyuman termanis dalam hidup bahkan menurutku mengalahkan senyuman monalisa(yang sampai sekarang aku belum yakin itu sebuah senyuman) yang sangat terkenal. Mataku menatap sesuatu di tumpukan buku-buku tua peninggalan masa SMA. Berjuta-juta keindahan  terbayang seperti seperti sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa dan akhirnya dipertemukan pada saat ketidakpastian.
            Mataku tertuju pada sebuah buku yang lumayan tebal berwarna merah dan bertuliskan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Ya, sebuah kamus yang akan membantuku mencari kata-kata yang cocok untuk membuat sebuah puisi. Kamus yang dulu pernah menciptakan sejarah dalam perolehan nilai pelajaran bahasa indonesia saat guru SMA ku memberikan sebuah PR . Sepuluh. Nilai yang sangat sempurna, merupakan rekor yang tak terpecahkan dan satu-satunya yang tertinggi dalam seluruh mata pelajaran sejak aku mengecap bangku pendidikan.
            Setelah sekian lama, akhirnya kulepaskan sejenak persetubuhanku dengan tumpukan papan berkaki empat itu. Secepat kilat kulangkahkan kaki menuju tumpukan kertas dan menggapai mahkota berwarna merah tersebut. Perasaan senang kembali mengguyur seluruh tubuh. Berharap inilah saatnya aku kembali menciptakan sejarah dan rekor baru dalam hidup dengan menuliskan sebuah puisi. Dan dalam sekejap pula aku kembali melakukan perselingkuhan dengan makhluk aneh berkaki empat itu kembali.
            Kubuka lembar demi lembar secara perlahan dan kuresapi setiap kata dan makna yang terkadung didalamnya. Seperti seorang pelacur yang dengan perlahan membuka setiap kancing kemeja pejabat yang katanya melakukan tugas keluar kota, dan dengan perlahan pula sang pelacur menghirup dan mereapi setiap jengkal keringat yang telah bercampur bau asap cerutu.
            Hampir setengah jam aku meresapi setiap huruf yang terpajang pada baris-baris kamus tersebut. Bahkan ada yang hampir sepuluh kali aku membacanya dan memaknainya. Namun lagi-lagi sebuah kesialan yang aku dapatkan. Tidak ada yang bisa kutuangkan menjadi sebuah kalimat. Aku tidak mau menyerah, tidak mungkin bidadari merah ini tidak membantu, tapi...
            ”Aaaa...” teriakanku membahana ke seluruh ruangan. Aku sangat kecewa karena yang kuharapkan tidak mau membantuku. Bahkan seolah-olah telah bersekutu dan menentangku. Timbul rasa benci sebenci-bencinya terhadap makhluk merah yang pernah menawan hatiku. Aku makin muak ketika semua kata yang keluar dari tubuhnya bukan membantu tapi malah mengejekku dan hampir menyerang dan membunuhku. Secepat aku meraihnya, secepat itu juga aku mencampakkannya. Akupun merebahkan kembali badanku ke papan berkaki empat dan berharap pelukannya dapat menenangkan gundahku.
            ”Bodah!”
            ”Siapa?”
            ”Kau, bodoh!”
            ”Siapa...siapa yang berbicara?”
            ”Aku, bodoh!”
            ”Kau?”
            ”Ya, Aku.”
            ”Tidak mungkin, mana mungkin kau yang berbicara.”
            ”Kenapa tidak mungkin?”
            ”Karena kau benda mati.”
            ”Memang dasar bodoh. Aku memang benda mati, tapi kau telah menghidupkanku”.
            ”Bagaimana bisa?”
            ”Karena kau telah menjadikanku bidadari merahmu selama ini.”
            ”Tidak mungkin,kau hanya sebuah kamus. Dan kamus tidak bisa bicara”.
            ”Selama ini kau terlalu memujaku, hingga aku hidup dalam jiwamu. Kalau hanya untuk bicara, aku lebih pintar darimu karena semua kata ada dalam tubuhku.”
            ”Tidak!”
            ”Kenapa tidak, kenyataanya memang seperti itu. Kau terlalu bodoh untuk menyusun sebuah kalimat. Kau terlalu bodoh untuk membuat secuil puisi.”
            ”Tidak...tidak...”
            ”Ya, kau terlalu memaksakan dirimu untuk menciptakan yang sempurna, hingga semua yang keluar dari otakmu salah. Kau tidak percaya diri. Andai kau menuliskannya saja, dan tidak terkekang oleh stigma-stigma yang mengikat, kau sudah bisa membuat puisi. Karena secara substantif, sebuah puisi tidak ada yang salah, hanya tergantung kita dan orang yang membacanya menafsirkan.”
            ”Tidak...tidak...tidak...”
            ”Ya, kau telah melupakan kesederhanaan. Bukankah seorang penyair yang terkenal juga memulai dengan sebuah tulisan yang sederhana dan tidak berharap menjadi sempurna. Tapi kau, terlalu berharap akan kesempurnaan.”
            ”Tidak...tidak...tidak...tidaaaak...”
            Aku terjaga dari mimpi yang merongrongku. Ah..., lima belas menit yang menyiksa. Seakan ingin mendakwaku terhadap kesalahan yang aku sendiri tidak tau pasti apa aku bersalah atau tidak. Seperti seorang yang dipaksa mengaku melakukan kejahatan yang dia tidak pernah lakukan. Seperti yang kusaksikan di televisi beberapa waktu lalu. Tapi tunggu...ya...ya...ya...
            Bergelayut pada hati yang rapuh
            Mencengkeram kuat, bergoyang pada kenistaan
            Retak, patah, jatuh ketanah, lebur menjadi abu
            Sirna tak berbekas
            Yuhui..” . Aku bersorak dipagi buta. Akhirnya aku bisa menuliskan sebait puisi. Ya, walau hanya sebait, aku puas. Puas sepuas-puasnya. Tapi tunggu, puisiku belum berjudul. Sebuah perkara yang mudah kurasa. Aku punya ratusan judul di kepalaku, yang memang telah ku letakkan di laci yang terpisah dari memori-memori yang lain. Setelah memilah-milah untuk beberapa lama, aku tidak juga menemukan judul yang pas untuk sebait puisiku ini. Bahkan segumpal daging di tengkorak kepalaku kembali menemukan jalan buntu, gelap dan tak ada apa-apa disana.
            ”Sial,sial,Setan!”
                                                                                   
                                                                                    Banda Aceh, Januari 2011